Pengertian Tantrum
Temper Tantrum adalah suatu letupan amarah anak di saat anak menunjukkan kemandirian dengan sikap negatifnya. Umumnya dialami oleh anak usia balita, terutama terjadi antara usia 2 hingga 4 tahun. Anak balita merasa lepas kendali, dirinya sedang kacau, bingung, dan berantakan. Ada keinginannya yang tidak terpenuhi.
Tantrum adalah masalah perilaku yang umum dialami oleh anak-anak prasekolah yang mengekspresikan kemarahan mereka dengan tidur di lantai, meronta-ronta, berteriak dan biasanya menahan napas. Tantrum adalah bersifat alamiah, terutama pada anak yang belum bisa menggunakan kata dalam mengungkapkan rasa frustrasi mereka (Fetsch & Jacobson, 1988). Suatu ledakan emosi kuat sekali, disertai rasa marah, serangan agresif, menangis, menjerit-jerit, menghentak-hentakkan kedua kaki dan tangan ke lantai atau tanah (Chaplin, 1981).
Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap “sulit”, dengan ciri-ciri memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur, sulit menyesuaikan diri dengan situasi, makanan dan orang-orang baru, lambat beradaptasi terhadap perubahan, suasana hati (moodnya) lebih sering negatif, mudah terprovokasi, gampang merasa marah atau kesal dan sulit dialihkan perhatiannya (Tasmin, 2001). Kebanyakan tantrum terjadi di tempat dan waktu tertentu. Biasanya di tempat-tempat publik setelah mendapatkan kata “tidak” untuk sesuatu yang mereka inginkan. Tantrum biasanya berhenti saat anak mendapatkan apa yang diinginkan (Tavris, 1989).
Tantrum Sebagai Sesuatu yang Alamiah
Secara tipikal tantrum mulai terjadi pada saat anak mulai membentuk sense of self. Pada usia ini anak sudah cukup untuk memiliki perasaan “me” dan “my wants”, tetapi mereka belum memiliki keterampilan yang memadai bagaimana cara memuaskan keinginan mereka secara tepat. Tantrum puncaknya pada usia 2-4 tahun yakni sekitar 23-80 % (Fetsch & Jacobson, 1998).
Potegal dan Davidson (2003) menggambarkan usia dan prosentase anak yang mengalami tantrum. Anak yang berusia 18-24 bulan sebanyak 87 %, usia 30-36 bulan sebanyak 91% dan usia 42–48 bulan sebanyak 59%.
Durasi rata-rata tantrum berdasarkan usia adalah 2 menit untuk anak yang berusia 1 tahun, 4 menit untuk anak yang berusia 2-3 tahun dan 5 menit pada anak yang berusia 4 tahun. Dalam seminggu terjadi 8 kali mengalami tantrum untuk anak yang berusia 1 tahun, 9 kali pada anak yang berusia 2 tahun, 6 kali pada anak yang berusia 3 tahun dan 5 kali pada anak yang berusia 4 tahun. Data ini diperkuat oleh Mireault dan Trahan (2007) dalam sebuah penelitiannya yang menemukan bahwa dari 33 orangtua yang menjadi objek penelitiaan terdapat 26 orang (79 %) melaporkan anaknya sering mengalami tantrum dengan durasi berkisar antara 2 sampai 75 menit.
Data ini menunjukkan bahwa perilaku tantrum adalah sebuah persitiwa yang umum dialami oleh anak, sehingga orangtua tidak perlu terlalu risau jika menghadapi anak yang seperti ini. Terpenting adalah bagaimana orangtua atau pengasuh untuk dapat mengontrol emosi dan mengambil tindakan yang tepat.
Penyebab Terjadinya Tantrum
Tasmin (2002) mengemukakan bahwa beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya tantrum pada anak. Seperti, terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu, adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi. Misalnya sedang lapar, ketidakmampuan anak mengungkapkan atau mengomunikasikan diri dan keinginannya sehingga orangtua meresponnya tidak sesuai dengan keinginan anak. Pola asuh orangtua yang tidak konsisten juga salah satu penyebab tantrum; termasuk jika orangtua terlalu memanjakan atau terlalu menelantarkan anak. Saat anak mengalami stres, perasaan tidak aman (unsecure) dan ketidaknyaman (uncomfortable) juga dapat memicu terjadinya tantrum.
Penyebab tantrum erat kaitannya dengan kondisi keluarga, seperti anak terlalu banyak mendapatkan kritikan dari anggota keluarga, masalah perkawinan pada orangtua, gangguan atau campur tangan ketika anak sedang bermain oleh saudara yang lain, masalah emosional dengan salah satu orangtua, persaingan dengan saudara dan masalah komunikasi serta kurangnya pemahaman orangtua mengenai tantrum yang meresponnya sebagai sesuatu yang menganggu dan distress (Fetsch & Jacobson, 1998).
Bentuk-bentuk Perilaku Tantrum
Tavris (1989) melihat bentuk tantrum berdasarkan proses pembentukannya yang dapat dibedakan dalam 3 tahapan, yakni tahap pemicu (trigger), tahap respon dan tahap pembentukan. Tahap pemicu tampak pada saat anak diserang, dikritik atau diteriaki oleh orangtua atau saudara dengan sesuatu yang menyakitkan atau menjengkelkan. Kemudian, anak merespon kritikan tersebut secara agresif dan destruktif. Jika perilaku agresi yang dimunculkan oleh anak tersebut mendapatkan reward dari penyerang (attacker) dengan menjadi diam atau berhenti mengkritik, maka taktik ini dianggap berhasil. Di sinilah anak akan mulai belajar membentuk perilaku tantrum sebagai senjata untuk melawan segala bentuk serangan dari lingkungannya.
Sementara itu, Tasmin (2002) membedakan bentuk perilaku tantrum berdasarkan kecenderungan bentuk perilaku yang dimunculkan anak berdasarkan usia, yakni usia kurang dari tiga tahun, usia tiga sampai empat tahun dan usia di atas lima tahun. Adapun bentuk perilaku tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Dryden (2007) melihat perilaku tantrum berdasarkan arah agresivitasnya, yakni diarahkan keluar dan agresivitas yang diarahkan ke dalam dirinya. Perilaku agresivitas yang diarahkan keluar, misalnya anak menampilkan agresi dengan merusak objek di sekitarnya seperti mainan, perabot rumah tangga, benda-benda elektronik dan lain-lain. Selain pada benda, agresivitas juga ditunjukan dalam bentuk kekerasan kepada orangtua, saudara, kawan maupun orang lain dengan cara mengumpat, meludahi, memukul, mencakar, menendang serta tindakan lainnya yang bermaksud menyakiti orang lain. Perilaku agresif yang diarahkan kedalam diri, misalnya menggaruk kulit sampai berdarah, membenturkan kepala ke tembok atau ke lantai, membantingkan badan ke lantai, mencakar muka atau memaksa diri untuk muntah atau batuk dan sebagainya.
Bagaimana Menghadapi Anak yang Tantrum
Berdasarkan penelitian Gina dan Jessica (2007) ditemukan bahwa orangtua sering sekali merespon anak yang tantrum dengan cara yang tidak tepat, yakni 59 % mencoba menenangkan anak, 37 % mengacuhkan dan sebanyak 31 % menyuruh anak diam. Data ini menunjukkan bahwa orangtua sering keliru ketika menghadapi anak yang mengalami tantrum.
Padahal, sejatinya tantrum adalah sebuah kesempatan bagi orangtua untuk mengenalkan emosi marah pada anak dan bagaimana mengatasinya. Karena itulah penting sekali bagi orangtua untuk mengetahui cara merespon tantrum secara tepat. Bagaimana pencegahannya, tindakan apa yang perlu dilakukan dan tindakan yang perlu dihindari saat tantrum berlangsung serta bagaimana orangtua mengenalkan anak mengenai manajemen marah paska tantrum.
Pencegahan
Tasmin (2002) mengemukakan bahwa untuk mencegah terjadinya tantrum dapat dilakukan dengan mengenali kebiasaan-kebiasaan anak dan mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa tantrum terjadi pada anak. Misalnya, pada anak yang aktif bergerak dan gampang stres maka orangtua perlu mengatur kondisi agar anak tidak dibuat bosan agar selama perjalanan diusahakan sering-sering beristirahat di jalan, untuk memberikan waktu bagi anak berlari-lari di luar mobil. Mendampingi anak mengerjakan tugas-tugas sekolah dan mengajarkan hal-hal yang dianggap sulit, akan membantu mengurangi stres. Mendampingi anak bahkan tidak terbatas pada tugas-tugas sekolah, tapi juga pada permainan-permainan, sehingga ketika ia mengalami kesulitan orangtua dapat membantu dengan memberikan petunjuk. Hal lain yang bisa dilakukan adalah orangtua perlu memperlakukan anak secara tepat dengan tidak terlalu memanjakan dan tidak pula terlalu menelantarkan anak, hubungan anak adalah hubungan kasih sayang dan perhatian yang proposional.
Mah (2008) menambahkan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah tantrum, yakni perlunya mengidentifikasi konsekuensi dari tantrum, maksudnya bahwa orangtua perlu mengetahui adakah perilaku dari orangtua atau orang lain di sekitar anak yang justru mendorong dan memberi penguatan terhadap terjadinya tantrum. Jika ada maka perlu dihilangkan. Selain itu, perlu juga diwujudkan atau dibangun sebuah sistem reward (penghargaan) untuk menjaga anak tetap berperilaku terkontrol. Memberikan penghargaan atau hadiah pada saat tantrum terjadi adalah tidak tepat sebab akan mengkondisikan anak untuk selalu mengulanginya. Untuk anak yang usianya lebih tua perlu diajarkan dan dilatih dengan coping skill dalam menghadapi situasi yang dapat membuat dia tantrum.
Lorenz (2010) juga memberikan pandangan tentang bagaimana mencegah terjadinya tantrum ketika akan melakukan perjalanan atau mengunjungi suatu tempat. Sebelum berangkat penting sekali membangun kesepahaman dengan anak. Orangtua perlu menjelaskan apa yang akan dilakukan, di mana, dan berapa lama kegiatan tersebut, lalu minta persetujuan anak. Ceritakan perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan oleh orangtua. Tentu saja disampaikan dengan kalimat positif, lembut, dan menggunakan kata-kata yang meminta (mengharap) dan menggunakan ungkapan yang dapat dirasakan oleh anak. Jika sudah sampai di tempat yang dikunjungi dan anak melanggar kesepakatan tersebut, maka tugas orangtua untuk mengingatkan. Ini juga merupakan cara untuk mengajar nilai konsistensi pada anak. Jika anak tetap menuntut, maka ada satu cara yang dapat dilakukan orangtua, yang disebut making a game out of the child’s demand, yakni keterampilan berbahasa untuk keluar dari tuntutan anak, sebagai contoh dapat dilihat pada percakapan di bawah ini:
Anak : “Saya mau permen!” Orangtua : “Mama mau roket untuk pergi ke bulan.”
Anak : “Beri saya permen!” Orangtua : “Beri mama roket untuk pergi ke bulan.”
Anak : “Beri saya permen!” Orangtua : “Mama akan memberi permen jika Ade memberi roket.”
Anak : “Ini.” (seolah-olah memberi roket) Orangtua :“Ini.” (seolah-olah memberi permen)
Anak : “Tapi ini cuma boongan.” Orangtua : “Ade juga memberi mama roket boongan.”
Anak : “Tapi saya tidak punya roket beneran!” Orangtua : “Mama juga tidak punya permen beneran!”
Tavris (2008) memberikan beberapa panduan untuk orangtua guna mencegah terjadinya tantrum yakni: mengalihkan perhatian anak, mencoba menemukan alasan kemarahan, menghindari rasa malu kepada anak perihal rasa marah, ajarkan anak mengenai intensitas tingkat kemarahan, atur secara jelas batasan harapan akan manajemen kemarahan sesuai dengan usia, kemampuan dan tempramennya, mengembangkan komunikasi terbuka dengan anak dan mengajarkan empati dengan memberikan pemahaman akan efek yang bisa ditimbulkan dari sikap mereka terhadap orang lain.
Tindakan yang Perlu Dilakukan dan Dihindari Saat Tantrum Terjadi
Ketika tantrum terjadi hal yang sangat penting bagi orangtua adalah segera mengambil tindakan yang tepat, sebab apa pun tindakan yang dilakukan oleh orangtua akan berdampak pada perilaku dan respon anak pada masa-masa yang akan datang, maka orangtua perlu memahami apa saja yang perlu dilakukan dan hal apa saja yang mestinya dihindari.
Ada tiga hal yang perlu dilakukan sesegera mungkin saat tantrum terjadi, yakni memastikan segalanya aman, perlunya orangtua mengontrol emosinya, serta tidak ambil peduli terhadap pandangan sinis atau ucapan negatif serta segala bentuk reaksi dari lingkungan. Jika tantrum terjadi maka biarkanlah anak untuk melampiaskan emosinya tapi pastikan bahwa segala sesuatunya dalam keadaan aman, baik bagi anak, pengasuh, termasuk benda-benda yang kemungkinan bisa dirusak. Segera evakuasi anak pada tempat-tempat yang empuk seperti kasur atau sofa, jauhkan anak pada benda-benda yang rawan untuk dirusak seperti televisi, hand-phone, remote control dan lain-lain. Ada baiknya jika anak didekap atau dipeluk dengan penuh kasih sayang akan tetapi jika dia meronta-ronta, memukul atau bahkan mencakar orangtua atau pengasuhnya sebaiknya tindakan ini jangan dilakukan sebab hanya akan memicu dan memprovokasi orangtua untuk bertindak kasar pada anak. Orangtua harus tetap tenang serta berusaha mengontrol emosi untuk tetap stabil. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak. Jika terjadi pada tempat umum (ruang publik) seperti swalayan, pesawat, kendaraan umum, kemungkinan besar lingkungan akan memberikan reaksi negatif yang dapat memicu emosi orangtua, maka yang perlu dilakukan adalah jangan terpengaruh dengan reaksi tersebut tetap sabar dan kendalikan emosi (Tasmin, 2008).
Tindakan yang perlu dihindari adalah membujuk, berargumen, memberikan nasihat-nasihat moral agar anak diam. Usaha menghentikan tantrum dengan cara-cara seperti itu ibarat “menyiram bensin dalam api”, anak akan semakin kuat mengekspresikan kemarahannya dan intensitasnya meningkat. Meminta anak untuk diam dengan memberi hadiah atau menjanjikan hadiah juga merupakan tindakan yang perlu dihindari. Sebab, sama saja mengajarkan anak untuk menggunakan tantrum sebagai senjata untuk meluluskan keinginannya atau mendapatkan hadiah. Paling penting untuk dihindari adalah memaksa anak diam dengan kata-kata kasar atau menggunakan hukuman fisik dan kekerasan (mencubit, memukul, menjewer, mengurung dalam kamar mandi, mengikat dan lain-lain), sebab hal ini sama dengan mengajarkan anak menggunakan cara-cara kekerasan jika menghadapi satu masalah (Lorens, 2010; Tasmin, 2008).
Salah satu tehnik yang dapat digunakan pada saat anak sedang tantrum adalah mengangkatnya ke kamar sesegera mungkin dan mengisolasinya selama 2 atau 3 menit. Hal ini juga memberi kesempatan kepada orangtua untuk mengontrol emosinya. Dua atau tiga menit sudah cukup untuk mencegah orangtua terprovokasi menggunakan kekerasan. Tidak perlu menasehati, tetapi sebelum meninggalkan kamar, orangtua hanya perlu mengemukan ungkapan seperti “mama akan meninggalkan Ade di kamar ini sampai kamu tenang dan siap untuk bicara dengan tenang”. Cara ini akan sangat membantu orangtua menjaga anak secara fisik dan bisa tetap konsisten pada aturan, terutama kepada anak yang lebih tua dan anak usia sekolah (Tavris, 1989).
Satu hal lagi yang perlu dihindari oleh orangtua, yakni meluluskan keinginan anak yang semula dilarang dengan harapan dia akan diam dan berhenti tantrum. Cara ini mungkin efektif untuk menghentikan tantrum anak pada saat itu tapi mungkin juga tidak. Hanya saja yang perlu ditekankan mengapa hal ini perlu dihindari sebab cara ini akan memberi efek negatif pada perkembangan anak dan pola relasi dengan orangtua dalam pengasuhan. Seperti juga dengan cara memberi hadiah cara ini memberikan penguatan kepada anak untuk menggunakan cara-cara seperti meraung-raung, mengamuk, mengumpat dan bentuk tantrum lainnya sebagai bentuk “demontrasi” guna mendapatkan posisi tawar memuluskan keinginan dan harapannya yang terhalang oleh pertimbangan orangtua. Tentu saja ini dapat diterapkan pada anak yang relatif sudah lebih dewasa, sekitar usia 3-6 tahun.
Ketika Tantrum Telah Berlalu
Jika anak sudah mulai reda tunjukkanlah ekspresi cinta pada anak dan biarkan dia merasa aman. Ajak anak untuk bermain dan bergembira. Tunjukkan kasih sayang pada anak, sekalipun ia telah berbuat salah. Orangtua perlu mengevaluasi mengapa tantrum terjadi.
Apakah benar-benar anak yang berbuat salah atau orangtua yang salah merespon keinginan anak, atau karena anak merasa lelah, frustrasi, lapar atau sakit. Jika anak yang dianggap salah, orangtua perlu berpikir untuk mengajarkan kepada anak nilai-nilai atau cara-cara baru agar anak tidak mengulangi kesalahannya. Kalau memang ingin mengajar dan memberi nasihat, jangan dilakukan segera setelah tantrum berakhir, tapi lakukanlah ketika keadaan sedang tenang dan nyaman bagi orangtua dan anak. Waktu yang tenang dan nyaman adalah ketika tantrum belum terjadi, bahkan ketika tidak ada tanda-tanda akan terjadi tantrum. Saat orangtua dan anak sedang gembira, tidak merasa frustrasi, lelah dan lapar merupakan saat yang ideal.
Berdasarkan uraian di atas dapat terlihat kalau orangtua memiliki anak yang “sulit” dan mudah menjadi tantrum, tentu tidak adil jika dikatakan sepenuhnya kesalahan orangtua. Namun harus diakui bahwa orangtualah yang punya peranan untuk membimbing anak dalam mengatur emosinya dan mempermudah kehidupan anak agar tantrum tidak terus-menerus meletup. Beberapa saran di atas mungkin dapat berguna bagi anda terutama bagi para ibu/ ayah muda yang belum memiliki pengalaman mengasuh anak.
KESIMPULAN
Bahwa perilaku yang bersifat universal dan normal terjadi pada anak. Hanya saja banyak orangtua yang meresponnya secara tidak tepat dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang mengganggu dan distres. Salah merespon anak yang tantrum akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan berikutnya. Bukannya menjadi disiplin dan belajar memecahkan masalah yang dihadapi secara solutif tetapi menjadi semakin destruktif dan agresif. Terdapat keterkaitan antara unsur emosional anak dengan perilaku-perilaku tantrum, seperti rasa frustrasi, ketidakpuasan, marah dan sebagainya. Akan tetapi unsur sosial nampak lebih dominan dalam membentuk perilaku tantrum seperti persaingan permainan dengan teman atau saudara, pola pengasuhan orang tua, atau kehadiran orang asing. Oleh karena itu, penting sekali bagi orangtua untuk memahami mengenai tantrum, bagaimana mencegahnya, bagaimana menghadapinya, serta pelajaran apa yang dapat diberikan oleh orangtua pada anak paska tantrum terkait dengan manajemen marah.
Sumber :
Syamsuddin, “Mengenal Perilaku Tantrum dan Bagaimana Mengatasinya (Understanding Tantrum Behavior and How to Solve It)”, Majalah Informasi Vol.18, No.02, Tahun 2013; 75-81