21 Februari 2016 15:45
Oleh : Dr. Adi W. Gunawan, CCH
Saat ini marak diberitakan tentang LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Ramai yang angkat bicara, mulai dari pemuka agama, psikolog, psikiater, dokter, artis, politikus, menteri, akademisi, sampai masyarakat awam. Ada yang pro, kontra, dan netral, dengan segala alasan dan argumentasinya.
Artikel ini ditulis tidak dengan tujuan lebih meramaikan pembahasan LGBT yang sudah cukup marak. Artikel ini bertujuan untuk berbagi kisah dan pengalaman terapi yang kami, hipnoterapis AWGI, lakukan pada klien LGBT, sehingga masyarakat dapat memahami LGBT dari perspektif lain.
Ada yang mengatakan bahwa LGBT disebabkan oleh masalah pada fisik otak dan tidak bisa disembuhkan. Ada juga yang menyatakan bahwa ini disebabkan faktor genetik atau turunan. Beberapa pihak berpendapat bahwa ini adalah kutukan. Terdapat beragam pendapat tentang penyebab LGBT. Mana yang benar?
Bahasan artikel ini semata-mata bersandar pada teori pikiran bawah sadar, aplikasi hipnoterapi klinis dalam membantu klien LGBT, dan temuan hal-hal yang menjadi penyebab atau memicu perilaku LGBT. Untuk menulis artikel ini saya menggunakan data klien yang pernah saya tangani dan juga data dari rekan sejawat hipnoterapis AWGI yang pernah menangani klien LGBT dalam kurun waktu mulai tahun 2008 sampai 2015.
Walau saya mendapat data dari para hipnoterapis AWGI, tidak berarti kami berbagi informasi tentang klien. Kerahasiaan klien sepenuhnya terjaga. Informasi yang saya terima hanya berupa usia, masalah, dan apa faktor penyebab perilaku LGBT.
Kami memahami LGBT sebagai satu bentuk perilaku yang dikendalikan pikiran bawah sadar (PBS). PBS memunculkan perilaku spesifik karena memiliki tujuan yang ingin ia capai. Tujuan ini sepenuhnya ditentukan oleh PBS dan belum tentu sejalan dengan atau seperti yang diinginkan oleh pikiran sadar (PS).
Salah satu fungsi utama PBS adalah melindungi individu, dari hal-hal yang ia (PBS) pandang, rasa, yakini, dan percaya merugikan dan atau membahayakan keselamatan hidup dan atau kesejahteraan fisik, mental, dan emosi individu, menurut cara yang PBS pandang paling baik untuk individu.
Dan fungsi utama ini sejalan dengan salah satu hukum kerja PBS yang menyatakan bahwa PBS bergerak menuju rasa senang (pleasure) dan menghindari rasa sakit (pain). Satu hal yang perlu diperjelas di sini yaitu cara PBS memaknai rasa senang dan rasa sakit berbeda dengan cara yang digunakan PS.
Hal-hal yang membuat seseorang merasa senang, nyaman, enak, bahagia baik di level fisik, mental, dan atau emosi oleh PS dimaknai sebagai rasa senang (pleasure). Sebaliknya, hal-hal yang mengakibatkan rasa tidak enak, menyakitkan, oleh PS dimaknai sebagai rasa sakit (pain). Pemaknaan inilah yang kita kenal dan pahami sebagai rasa sakit dan rasa senang.
Namun, ini berbeda di level PBS. Bagi PBS, yang dimaksud dengan rasa senang (pleasure) adalah segala hal yang ia kenal (known), dan rasa sakit (pain) adalah segala hal yang tidak ia kenal (unknown). Hal yang oleh PS dimaknai menyakitkan, namun bila dikenal oleh PBS maka PBS memaknainya sebagai rasa senang. Sebaliknya, hal yang oleh PS dimaknai menyenangkan, bila ini tidak dikenal oleh PBS, maka PBS memaknainya sebagai menyakitkan.
Hal yang membuat ini semua menjadi semakin menarik yaitu kekuatan PBS dalam memengaruhi dan mengendalikan individu bila dibandingkan dengan PS adalah sembilan puluh sembilan kali berbanding satu. Dengan demikian individu, tanpa intervensi secara sadar, sepenuhnya didikte oleh PBS.
Hipnoterapis AWGI telah banyak menangani klien LGBT. Ada yang jumpa terapis karena desakan orangtua atau keluarga. Ada juga yang datang atas kesadarannya sendiri karena merasa tidak nyaman dengan kondisinya.
Satu hal yang pasti, kami tidak memandang LGBT sebagai satu bentuk penyakit atau gangguan kejiwaan. Selaku hipnoterapis kami tidak boleh melakukan diagnosa karena memang tidak dilatih atau tersertifikasi untuk tujuan ini. Kami memandang LGBT sebagai satu bentuk perilaku. Bila Anda teliti membaca tulisan ini, sejak dari awal saya tidak pernah menggunakan istilah “penderita LGBT”. Saya menggunakan istilah “klien LGBT”. Berdasar paradigma ini kami dapat membantu klien LGBT seperti yang mereka harapkan, tanpa melakukan penghakiman, namun dengan dasar welas asih dalam upaya membantu sesama.
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang telah kami tangani dan berhasil dibantu untuk kembali normal seperti yang klien harapkan. Akar masalah kami temukan di PBS klien menggunakan teknik hipnoanalisis dalam kondisi hipnosis dalam (profound somnambulism), bukan melalui sesi wawancara dalam kondisi sadar normal. Dalam artikel ini saya sengaja tidak membahas caranya karena akan sangat teknis.
Seringkali apa yang diperkirakan menjadi akar masalah atau pemicu perilaku LGBT, menurut klien atau keluarga, ternyata sama sekali berbeda dengan yang ditemukan di PBS klien. Umumnya klien sama sekali tidak tahu apa yang menjadi penyebab atau pendorong perilaku LGBT.
No/Masalah Klien dan Akar Masalah
1
Pria, 27 tahun, ingin operasi kelamin menjadi wanita.
Tidak mendapat perhatian dari kedua orangtua, terutama ibu. Saat SD dan SMP sering diolok sebagai banci. Saat klien berpura-pura berperan sebagai wanita, ia mendapat perhatian dari lingkungan.
Hasil terapi, klien memutuskan tidak jadi operasi kelamin.
2
Wanita 31 tahun, menikah punya dua anak, ingin jadi pria.
Ayah klien menolaknya saat ia lahir sebagai anak perempuan. Ayah berharap dapat anak laki. Sejak kecil klien diperlakukan seperti anak laki. Klien kurang mendapat kasih sayang dari ayah.
3
Pria, 19 tahun, gay.
Saat kecil kurang kasih sayang, terutama dari ayah. Pernah dipukul dan disiksa ibunya sehingga menyimpulkan semua wanita jahat. Saat dewasa sempat pacaran dengan wanita beberapa kali tapi putus semua. Akhirnya memutuskan pacaran dengan pria.
Hasil terapi, klien kembali menjadi heteroseks.
4
Pria, usia 47 tahun, menikah, punya empat anak, kecenderungan biseksual.
Hubungan buruk dengan ayah di masa kecil hingga dewasa. Hasil terapi baik.
5
Wanita, usia 23 tahun, bujangan, biseksual
Memiliki kemarahan sangat kuat terhadap ayah kandung sejak balita. Sebagai anak tunggal sangat dimanja, cenderung kabur dari masalah. Ketika pacar laki-laki menyebalkan lalu putus, klien berganti pacar perempuan.Begitu pula sebaliknya.Hasil terapi baik, menjadi heteroseks, dan baru saja menikah.
6
Pria, usia 41 tahun, menikah dan punya satu anak, biseksual.
Saat SD mengalami pelecehan seksual oleh pembantu rumah tangga laki-laki maupun perempuan.Hasil terapi baik, menjadi lebih macho dalam sikap dan perilaku.
7
Pria usia 28 tahun, gay, masih bujangan.
Menjadi gay gara-gara dalam perjalanan naik travel ia digerayangi kemaluannya oleh pria homo tanpa berani menolak karena tidak ingin membuat malu dan bikin keributan. Hasil terapi baik, kembali menjadi heteroseks.
8
Pria 43 tahun, menikah, punya 2 anak, biseksual.
Sejak kecil dibilang banci oleh keluarga dan orang kampung. Pengalaman seksual pertama saat usia 25 tahun dengan pria, teman kerja. Hasil terapi baik, cara jalan, suara dan bahasa tubuh berubah signifikan.
9
Pria, usia 35 tahun, gay.
Saat remaja mengalami pelecehan seksual oleh figur otoritas pria. Hasil terapi baik.
10
Wanita 26 tahun, lesbi.
Penolakan sejak dalam kandungan oleh ayahnya, penolakan saat klien berusia satu hari oleh ayahnya, saat kecil tidak boleh main boneka tapi diberi mainan gundu dan bola sepak, dipanggil dengan nama laki oleh guru dan teman-temannya. Hasil terapi, klien putus dengan pacar wanita dan menjalin relasi dengan pria.
11
Pria, usia 27 tahun, bujangan, gay.
Mengalami pelecehan seksual oleh sopirnya saat masih TK.
12
Pria, usia 34 tahun, gay.
Waktu SD diejek dan dibilang banci atau seperti perempuan. Hasil terapi, klien kembali normal sebagai pria.
13
Wanita, 24 tahun, lesbian.
Ditolak oleh ayah dan nenek sejak dalam kandungan karena yang diinginkan adalah anak laki. Hasil terapi, klien pacaran dengan pria dan tidak lagi terangsang saat melihat wanita.
14
Pria, 29 tahun, gay.
Saat SD trauma melihat pertengkaran orangtua yang intens dan terus menerus. Saat SMP teman-teman mengolok ia seperti perempuan. Ia juga tidak mendapat kasih sayang terutama dari ayah.
Hasil terapi, klien menjalin relasi dengan wanita.
15
Wanita, 34 tahun, lesbi.Saat balita dipangku tantenya dan dia menggosokan alat kelamin ke paha tante, muncul rasa nikmat.
Saat memasuki masa remaja, orangtua kurang perhatian, klien mulai iseng bermain dengan kelaminnya, dan melihat BF. Klien ingin nikmat seks tapi takut hamil. Untuk itu klien pacaran dengan sesama wanita.
Hasil terapi, klien memutuskan hubungan dengan wanita dan sekarang pacaran dengan pria.
16
Pria, 20 tahun, gay
Saat kecil sering disebut bencong, di sekolah sering di-bully, kurang kasih sayang ayah sehingga sangat nyaman bila dekat laki-laki.
Hasil terapi, klien mulai menyukai wanita.
17
Wanita, 29 tahun, lesbian
Klien pernah mengalami pelecehan seksual berat oleh pacar pertamanya. Walau merasa marah dan terluka, secara fisik klien merasakan nikmat. Klien ingin mengulangi perasaan nikmat namun takut hamil. Untuk itu klien pacaran dengan wanita.
Hasil terapi, klien putus dengan pacar wanita dan menjalin relasi dengan pria.
Dari contoh kasus yang dipaparkan di atas tampak jelas bahwa perilaku LGBT adalah akibat dari satu atau beberapa sebab spesifik yang klien alami saat sejak dalam kandungan dan atau di masa kecil, biasanya sampai usia sekitar 12 tahun.
Kejadian ini membekas di PBS klien karena mengandung emosi intens. Saat klien berulangkali mengalami kejadian yang sama atau mirip, misal penolakan oleh orangtua, diolok banci, anak laki tapi diperlakukan sebagai perempuan, atau anak perempuan diperlakukan sebagai laki, pengalaman ini mengakibatkan munculnya dorongan dari PBS yang memengaruhi perilakunya.
Bila seorang anak laki mengalami kekerasan baik fisik, verbal, maupun emosi oleh ayahnya, maka ia pasti bertumbuh menjadi individu yang haus kasih sayang pria dewasa.
Sesuai dengan sifat dan fungsi PBS yang bertujuan memberikan yang terbaik untuk individu, menurut pemikiran dan persepsi PBS, maka PBS akan mendorong individu untuk mendapatkan kasih sayang dari pria lain, sebagai pengganti sosok ayah. Dorongan ini, karena berasal dari PBS, tidak disadari individu. Perilaku inilah yang disebut gay.
Sama dengan halnya, pada contoh di atas, wanita yang sudah berkeluarga, punya anak, namun masih ingin menjadi pria. Dorongan untuk menjadi pria cukup kuat dalam dirinya sehingga sangat mengganggu hidupnya.
Saat saya mengatakan bahwa secara fisik ia normal, buktinya bisa punya anak, mampu menikmati hubungan seks dengan baik, klien tetap bersikeras bahwa ia tetap ingin menjadi pria.
Barulah setelah dilakukan penelusuran di PBS klien, akhirnya diketahui bahwa tujuan ia ingin menjadi pria adalah demi mendapat pengakuan dan kasih sayang dari ayahnya, yang tidak ia dapatkan sejak kecil.
Saat pengalaman ini berhasil diproses, secara otomatis dorongan untuk menjadi pria juga sirna. Masih segar dalam ingatan saya, walau terapi ini dilakukan hampir 10 tahun lalu, usai terapi klien ini berkata, “Terima kasih ya Tuhan. Menjadi wanita adalah anugerah terbesar dalam hidup saya. Saya bahagia dan bangga menjadi wanita.”
Ada satu syarat penting yang harus dipenuhi saat membantu klien LGBT, sama seperti dalam penanganan kasus lainnya. Terapis harus mampu membimbing klien untuk menemukan peristiwa atau kejadian paling awal yang menjadi pemicu perilaku LGBT. Dan hampir di semua kasus, kejadian paling awal ini tidak dapat diingat oleh klien secara sadar. Bila kejadian paling awal ini tidak berhasil ditemukan, sebaik apapun proses terapi dilakukan, klien pasti akan kembali menjadi LGBT.
Dari pengalaman klinis membantu klien LGBT, berdasar data yang didapat saat wawancara dan juga dari proses terapi, perilaku LGBT tidak bisa atau sangat sulit disembuhkan hanya dengan terapi berbasis sugesti. Untuk membantu klien LGBT kembali normal dibutuhkan kerja yang lebih intensif, eksplorasi, reedukasi PBS, rekonstruksi memori, resolusi trauma, menghilangkan emosi negatif, dan banyak hal lain lagi.
Besar harapan saya, setelah membaca artikel ini, Anda kini punya pemahaman tentang LGBT dari perspektif yang berbeda, bahwa LGBT bukanlah aib, penyakit, atau sesuatu yang begitu buruk sehingga perlu dijauhi atau dikucilkan. Asalkan bukan karena faktor hormonal atau faktor fisik, LGBT bisa dibantu kembali normal dengan pendekatan terapi yang tepat.